Sabtu, 03 Oktober 2015

Studi Kasus Mengenai Telematika

1. Kasus Penyadapan Jaringan Telekomunikasi Indonesia 

Dokumen Snowden menunjukkan, dinas spionase elektronik Australia melakukan penyadapan secara massal terhadap jaringan komunikasi dan pengumpulan data yang dilakukan oleh sejumlah provider di Indonesia.
       Hal ini mendapat sorotan dari sejumlah pengamat telekomunikasi. Ini juga menandakan seluler di Indonesia tidak aman.
"Ini tentu kabar mengejutkan. Sebab penyadapan ini menunjukan, jaringan komunikasinya tidak aman. Konsumen harus lebih hati-hati dengan kejadian ini," kata Agus Pambagio, pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen, kepada INILAHCOM, Rabu (19/2/2014).
     Agus meminta konsumen lebih hati-hati dalam menggunakan layanan telekomunikasi. Dia menyarankan agar konsumen bisa memilih layanan telekomunikasi yang aman dan bisa melindungi kepentingan konsumen. Ke
tua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo menegaskan, provider besar seperti Telkomsel harus menjelaskan kepada publik soal ketidakamanan jaringan telekomunikasi mereka.
       "Mengapa bisa sampai disadap, apakah ada unsur kesengajaan atau tidak. Perlindungan konsumen harus jadi concern utama," kata Sudaryatmo.
Menurut dia, kejadian ini bisa menjadi pelajaran bagi pengguna layanan telekomunikasi Telkomsel. Konsumen diminta hati-hati setelah terkuaknya indikasi tidak aman atas operator seluler tersebut.
"Penyadapan ini sangat merugikan konsumen, Telkomsel harus bisa menjelaskan ini ke publik," kata Sudaryatmo.
     Sepanjang 2013, Australian Signals Directorate mendapatkan hampir 1,8 juta kunci enskripsi induk yang digunakan operator selular Telkomsel untuk melindungi percakapan pribadi dari pelanggannya. Intelijen Australia juga membongkar semua enskripsi yang dilakukan Telkomsel. Data pengguna telepon seluler pada 2012 menunjukkan, Telkomsel memiliki 121 juta pelanggan atau menguasai sekitar 62 persen pasar.
       Khusus untuk Indonesia, bila bocoran Snowden menyatakan penyadapan dilakukan kepada para pejabat, bocoran terbaru memperlihatkan, kegiatan penyadapan oleh AS dan Australia sudah merasuk ke komunikasi pribadi pelanggan selular di Indonesia melalui Telkomsel.
      Intersepsi Australia atas layanan telekomunikasi berbasis satelit di Indonesia dilakukan melalui Shoal Bay Naval Receiving Station, fasilitas intersepsi satelit yang berlokasi dekat Darwin. AS dan Australia juga mengakses panggilan telepon dan lalu-lintas internet yang dilakukan menggunakan kabel bawah laut yang beroperasi melalui dan ke Singapura.
"Dari ulasan berita diatas seharusnya Mahkamah Pidana Internasional yaitu Pengadilan Kriminal Internasional mengusut hal ini dan mengadilinya karena hal ini sudah menyangkut HAM suatu negara. Bahkan PBBpun harusnya ikut campur tangan"

Referensi : http://nasional.inilah.com/read/detail/2075610/jaringan-telekomunikasi-di-indonesia-tidak-aman

2. Kasus Spionase terhadap Indonesia

Dunia Intelijen merupakan dunia klandestine yang sangat berbeda dengan dunia media terbuka apalagi infotaiment. Distribusi infonya pun berbeda, jika  media ditujukan pada publik secara luas dan masif sedangkan intelijen secara tertutup dan sangat terbatas, hal inilah yang sering terkesan bahwa intelijen lambat bahkan kecolongan, karena memang informasi yang dimiliki bukan ditujukan untuk umum.
     Terhadap dinamika isu penyedapan yang dilakukan negara asing kepada Indonesia memicu polemik dan pendapat beragam, ada yang menyatakan kemarahannya terhadap negara asing tersebut, namun juga ada yang menyalahkan lembaga intelijen Indonesia, jadi wajar saja dinamika semacam itu, artinya kalau lembaga negara sedang diserang intelijen asing, akan banyak kritik yang membangun, jadi tetap positif thinking, walau  ada juga yang asal bunyi alias "asbun" dan  itu biasanya yang sudah kesusupan dana I-War (Informasi War) atau perang informasi, Misalnya tentang spionase yang dilakukan oleh Australia di negaranya DSD (Defence Signal Directorate) mendapat kritik dan kecaman masyarakat Australia sendiri  karena dianggap skandal yang memalukan dan membahayakan warga negaranya.
     Tekanan publik Australia atas tindakan DSD tentu menjadi medan peperangan baru bagi DSD di negaranya sendiri. Tekanan publik inilah yang kemudian mau dialihkan ke Indonesia dengan melakukan I-War semacam pergeseran isu dari spionase Australia yang dihujat oleh publiknya sendiri di geser ke  Indonesia dengan menggunakan antek-anteknya guna menyerang balik lembaga negara di Indonesia yang punya otoritas atas keamanan rahasia Indonesia (seperti aparat Intelijen, Lemsaneg, Kemenhan dll) dengan tuduhan intelijen, atau aparat keamanan Indonesia lemah, kecolongan, dan hanya sibuk ngurus yang lain dan sebagainya.
     Sepertinya masyarakat Indonesia sudah cerdas, mana yang mengkritik atas nama nasionalisme dan mana yang megalihkan isu secara tidak bertanggung jawab, atau mungkin memang sudah menjadi agen asing yang sudah tidak peduli dengan negaranya .
    Indonesia sebagai korban "spionase gagal" Australia, tentunya sudah melakukan penangkalan dalam bidang intelijen. Apalagi fenomena sadap menyadap sudah menjadi rahasia umum dunia intelijen khususnya negara-negara asing tersebut yang kecendrungannya semakin panik melihat perubahan perkembangan strategis dunia, dimana Indonesia semakin diperhitungkan. Atas dasar itulah, pastinya Indonesia sudah mengantisipasinya, bisa jadi info-info yang didapat oleh negara-negara asing tersebut hanyalah garbage information.

"Kalo Indonesia terus-terusan menjadi korban hanya diam dan berujung damai harga diri bangsa Indonesia akan hilang, seharusnya juga bangsa Indonesia membawa kasus ini ke pengadilan internasional ataupun PBB"

Referensi :http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=13849&type=116#.VKbBcdWG_IU

3. Kasus perampokan dalam Taksi Express

Taksi curian Express yang digunakan untuk merampok penumpang tidak bisa dilacak keberadaannya. Menurut Pengamat Telematika Abimanyu, taksi Express sebenarnya sudah dilengkapi dengan sistem pelacakan lokasi / GPS (Global Positioning Systems) yang berbasis sentra atau Digital Dispatch System.
Untuk melacaknya keberadaan taksi atau kendaraan yang dicuri berikut adalah pendapat Abah sapaan Abimanyu ;
Poll cukup mencantumkan semua taksi yang sah serta nopolnya ke dalam dispatching server dan SMS
Polisi tinggal memantau pergerakan taksi, bila ada yang mencurigakan polisi tinggal SMS ke server nomor lambung atau nopol taksi yang bersangkutan, dan server akan menjawab lokasi taksi yang bersangkutan. Bila jawaban dari server tidak sesuai dengan kenyataan maka 100% itulah taksi yang dicari, bisa segera ditangkap
Ada baiknya argometer yang ada dihubungkan dengan GPS. Sehingga bila GPS mati maka Argo juga tidak mau berfungsi. Bila argo tidak berfungsi kecil kemungkinan penumpang mau naik taksi spt itu. Dengan demikian probabilitas taksi utk dapat melakukan kriminal semakin kecil
Ada baiknya pula taksi dipasangi RFID scanner yg dapat mendeteksi (secara unattended) sesama taksi dan kemudian melaporkan status tersebut ke server kemudian pada server dibuatkan subrutin yang akan mengecek masing2 taksi.. bila hanya ada 1 laporan berarti taksi yang tidak melapor adalah taksi yang dicurigai, dan lokasinya langsung terdeteksi berdasarkan laporan taksi lain yang dekat itu.
Apabila tidak ada laporan DDS berarti besar kemungkinan pelaku telah merusak / menaklukan alat. Dan itu mudah terdeteksi pada tahap #1 sehingga cepat terdeteksi taksi mana yang dicurigai.
Tempat 2 perparkiran sebaiknya dilengkapi black list check dan daftar taksi yang mencurigakan ini sebaiknya dapat diakses tempat 2 parkir. Sehingga bila taksi kriminal tersebut masuk ke salah satu perparkiran maka sistem akan mudah mendeteksinya untuk kemudian melaporkan ke pusat.

Referensi : http://www.lapantuju.com/2014/12/inilah-solusi-telematika-taksi-express-dipakai-kriminal/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar